Dewasa ini secara kuantitas Islam termasuk agama yang berkembang sangat pesat, terutama di wilayah Afrika, Eropa dan Asia. Lebih dari 1,5 triliun Muslim tinggal di sekitar 57 negara yang berpenduduk mayoritas Muslim dan 20 juta Muslim tersebuar pada wilayah yang termasuk dalam kategori minoritas seperti Eropa dan Afrika. Dalam konteks sejarah, belum pernah Islam begitu besar seperti sekarang ini yang tersebar di seluruh dunia serta berinteraksi dengan keyakinan masyarakat lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa kini agama Islam telah menjadi bagian mozaik masyarakat Amerika dan Eropa sekaligus menjadi pemain integral dalam sejarah global.

Akan tetapi, sayangnya dunia muslim era kontemporer secara faktual telah memperlihatkan bahwa universalisme nilai-nilai Islam saat ini sangat kontras dengan periode awal Islam. Masyarakat Muslim dan perilaku moral individualnya kini telah menjauh dari aspek-aspek dasar pengalaman pewahyuan serta idealitas doktrin kenabian Muhammad SAW. Bahkan, di Negara-negara yang notabenya Muslim justru ilmu dogmatisnya telah mendorong adanya sakralitas serta menjauhkan kesadaran diri dan publik.

Spiritualisme Islam yang secara doktrin harusnya mengajarkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan, kepatuhan pada setiap perintah serta standar-standar moralitas yang ditetapkan oleh Tuhan nyatanya semakin menjauh dalam diri masyarakat muslim. Selain itu, pada wilayah keindahan serta keteraturan alam semesta yang di ajarkan dalam kitab suci pun seakan kian pudar.

Berdasarkan data Islamiccityindex.org yang sebenarnya didasarkan pada ajaran Islam dari Al Qur’an dan Hadist sebagai tolak ukur derajat keislaman justru menyuguhkan data yang cukup mengejutkan. Pasalnya, data menunjukan bahwa Negara-negara non Islam seperti Selandia Baru, Autralia, Kanada dan lain sebagainya justru menempati rangking yang paling tinggi. Artinya, nilai-nilai Islam yang telah diaktualisasikan dalam kehidupan bernegara justru lebih baik jika dibandingkan dengan Negara yang secara tegas mengatakan Negara Islam.

Padahal dalam pemikiran Durkheim tentang agama sebenarnya terpusat pada sebuah klaim bahwa agama menjadi sesuatu yang bersifat moral. Dimana, hal itu berarti setiap kebudayaan, agama menempati pada bagian yang cukup penting dan berharga dalam seluruh kehidupan manusia. Agama mampu memberikan layanan bagi manusia dalam hal ide, ritual serta perasaan yang nantinya akan berkaitan erat dalam kehidupan social itu sendiri.

Akan tetapi jika melihat hasil indeks tersebut, justru telah menunjukan kegagalan sebagian besar Negara-negara Islam dalam menjunjung tinggi aturan yang diimplementasikan melalui institusi kenegaraan. Merebaknya fenomena formalisme Islam serta aspirasi-aspirasi kesalehan formal pada ruang publik di Negara Muslim teryata tidak berimplikasi pada lahirnya sebuah kesalehan serta idealitas transenden.

Padahal jika kita merujuk pada inti dari keislaman adalah tentang ketertundukan kepada Tuhan dari seorang manusia yang berimplikasi pada lahirnya peradaban Islam. Tentu melihat kondisi yang kian miris tersebut, harusnya umat Islam tergugah hati untuk melakukan refleksi sekaligus memperbaiki diri. Pembaharuan dan reformasi seakan menjadi kebutuhan paling fundamental dalam kehidupan beragama masyarakat Muslim.

Selain itu, hal pertama yang harus diluruskan dari masyarakat Muslim saat ini adalah teologi melalui purifikasi sebagaimana dianjarkan nabi Muhammad serta para sahabat. Pasalnya, dalam kehidupan manusia dan mindset menjadi hal paling fundamental yang kesemuanya bergantung pada persoalan teologi. Bukan hanya itu saja, umat Islam juga harus membedakan antara kategori ibadah dengan muamalah dengan merujuk pada pemikiran Ibn Taimiyyah.

Ajaran Islam yang berkaitan dengan ibadah memiliki sifat tegas, jelas dan terperinci sedangkan ajaran Islam yang bersifat muamalah memiliki prinsip dasar yang bersifat umum. Sehingga dalam kategori muamalah ini umat Islam harus senantiasa mempergunakan akal yang telah dikaruniai Tuhan untuk memahami fenomena kehidupan serta melakukan interpretasi terhadap wahyu-wahyu Tuhan. Berangkat dari situ, nantinya ilmu pengetahuan modern Islam dapat berkembang, tentunya ilmu pengetahuan yang berdasar pada natural law atau sunatullah.

Pasalnya, dalam konsep ajaran Islam hukum alam merupakan ciptaan Allah oleh karenanya, ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada hukum alam, dan Islam sebenarnya tidak mungkin bertentangan. Selain itu, persoalan lain yang tidak kalah penting untuk segera dicari solusi terbaiknya adalah dikotomi kita dan mereka. Terlalu sering kita tergoda pada perbandingan antara ideal kita dengan realitas orang lain.

Seringkali kita berdiskusi untuk mengemukakan ideal kita dan membedakan dengan keyakinan orang lain dengan menekankan pada realitas, keperayaan serta tindakan negative golongan tertentu, meskipun hal tersebut tidak representative. Kita lebih disibukan dengan saling klaim kebenaran dan menyalahkan sikap dan tindakan orang lain yang memiliki aliran berbeda dengan kita. Umat Muslim dewasa ini telah melahirkan tuhan-tuhan baru dengan begitu angkuhnya menyatakan dirinyalah yang paling benar diantara keyakinan orang lain.

Padahal jika kita mampu merefleksikan kembali dalam proses penciptaan manusia yang berasal dari sesuatu yang hina, kita tidak ada apa-apanya tanpa kuasa Tuhan. Oleh karena itu, penting kiranya kebijakan-kebijakan di dunia Muslim memiliki pandangan realistis jangka panjang. Transformasi budaya politik, nilai serta kelembagaan yang menciptakan masyarakat sipil yang kuat. Selain itu, kalangan Muslim harus memiliki sikap proaktif terhadap berbagai pembaharuan serta berusaha untuk mewujudkan tradisi keagamaan dan pendidikan modern di bidang hukum, sejarah, politik, kedokteran, ekonomi dan sain.

Umat Islam juga harus siap untuk melakukan penafsiran kembali terhadap sumber-sumber dan tradisi intelektual Islamnya agar tetap adaptif dengan tantangan zaman moderenis. Sebagaimana yang diungkapkan Ramadan bahwa integrasi identitas atau kebudayaan bukan berarti asimilasi secara menyeluruh. Hal senada juga diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid yang menyatakan bahwa Islam harus responsive terhadap tuntutan kehidupan modern serta mampu menunjukan dengan selalu mengedepankan sikap inklusif, demokratis serta pluralistik.

Akan tetapi perlu diingat bahwa konstruksi kehidupan modern yang Islamis tidak boleh menyusutkan agama Islam itu sendiri menjadi ideologi duniawi semata. Karena, jika terjadi hal yang demikian nantinya akan dengan mudah untuk dimanipulasi oleh segelintir orang yang ingin memaksakan pandangan pribadinya dengan mengatasnamakan agama. Melalui cara-cara itulah nantinya peradaban Islam akan kembali bangkit serta memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan individu, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagaimana, lembaran catatan sejarah yang telah digoreskan dengan tinta hitam oleh para pemuka agama terdahulu.

Anda mungkin juga menyukai:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *